Senin, 08 Agustus 2011

Sinopsis Mengejar Bayangmu


oleh : A.M. Koto
Semangat, bekerja keras, pantang menyerah adalah sesuatu yang harus dilakukan dalam menggapai impian. Namun dibalit itu selalu ada rintangan, selalu ada cobaan-cabaan dan Tuhan akan menunjukkan jalan keluarnya. Dibalik kesulitan pasti ada kemudahan. Begitulah perinsip hidup yang harus terpatri dalam diri kita.
Manto, adalah seorang pemuda desa dari keluarga menengah kebawah. Dari keluarga yang taat beragama namun, miskin namun tak mengenal mental manja. Semua harus dijalankan dengan kerja keras, doa dan ikhlas. Meskipun dia dari keluarga yang kurang berada, dia punya cita-cita tinggi. Punya impian meskipun dia membantu ibunya untuk membiayai hidup dan sekolah dirinya dan adik-adiknya.
Dalam mengejar cita-citanya, dia tidak meninggalkan orang-orang disekelilingnya. Dia juga berdakwah melalui wadah di sekolahnya yang disebut rohis. Melalui rohis di sekolahnya dia berusaha merombak teman-temannya untuk hidup berlandaskan agama yang dianutnya. Di tengah-tengah sekolahnya, yang notabone anak-anak SMA tentu membutuhkan pendekatan-pendekatan yang terkonsep dan terencana. Oleh sebab itu dia mendekatnya dengan perilaku yang mulia sebagai contoh untuk memberi petunjuk pada mereka.
Sebagai pengemban dakwah, dia ingin menunjukkan yang terbaik bagi teman-temanya. Dia ingin menjalankah semua aktifitasnya secara islami. Termasuk pacaran. Dia tidak ingin pacaran sebelum dia menikah. Tetapi apa hendak dikata. Cinta itu datang tak diundang. Cinta itu datang dari pandangan mata, lalu meresap kerelung hati melalui peredaran darah. Dan bagaimana dia menyiasatinya semua itu. Dan siapa Mia. Bagaimana dia mengatur antara misi, cinta dan cita-cita. Bisakah dia menggapai semuanya?


Senin, 25 Juli 2011

MENANTI RAMADHAN


                                                                    oleh : A.M. Koto

Berbulan, kunanti Ramadhan datang
Bulan yang selalu dirindu  jutaan umat sejagat
Berjuta manusia melambai-lambai bila engkau datang

Ramadhan
Kini kusambut engkau di balik tirai jendela
kubentangkan kata sebagai sajadah
Berjuta ayat telah kuhembuskan untuk datangmu

Ramadhan
Bersamamu Tuhan kirimkan secercah cahaya
Yang bergerak menerangi dunia
Menerangi kebun-kebun kawanku
Menerangi kuburan-kuburan tua
Ke rumput-rumput yang merambat
Ke semut semut melata
Ke tepi-tepi kampung
Ke dhuafa-dhuafa yang terlunta
Ke perut pengemis-pengemis yang berontak
Di sini semua menunggu kehadiranmu.

Ramadhan
Bersamamu Tuhan kirimkan milyaran kekuatan
Yang memberi makna pada setiap kata
Dalam lantunan keagungan kitabNya
Melekat pada lidah-lidah yang basah
Tuhan kirim kembang mahkota dari ujung benua
Semerbak mewangi bagai melati yang mekar di musim semi
Membuka aura yang puluhan bulan terbenam
Kini bangkit membawa aroma gairah
Dalam menempa diri di kawah candradimuka

Ramadhan
Kedatanganmu membuka pintu gerbang rahmat.
Tapi aku tak mengerti
Kenapa kemaksiatan terus berjalan
Bunga-bunga dunia terus bermekaran
Persetubuhan-persetubuhan liar terus diwariskan
Suara-suara tawa masih berderai
Bersorak-sorak di ruang bar
Menyesakkan dada para hamba yang bersimpuh
Tangis-tangis berlulungan
Karena dosa yang belum terbakar

Ramadhan
Ijinkan aku menemanimu dengan kalimat-kalimat Tuhan
Bersama bisikan-bisikan dzikir
Untaian-untaian doa
Luasnya ampunan
Tumpahan-tumpahan rahmat
Pahala
Kasih sayang
dan keikhlasan
Di sepanjang detak waktu
Di sepanjang usiaku

Kamis, 26 Mei 2011

SEJUTA DUKA BUAT BUNDA YOYOH


Oleh : 
A.M. Koto

Kini sejuta manusia mulutnya menganga
Dalam keterkejutan tak terduga
Sejuta mata berderai
Mengiringi srikandi keadilan kepangkuan haribaan

Kini sejuta manusia mulutnya menganga
Seakan tak percaya tetapi nyata
Seakan bermimpi tetapi terjadi
Seakan fatamorgana tetapi bersimbah air mata
Mengantarkan pelopor peradaban dalam istirahatnya

Bunda……
Engkau pergi begitu cepat
Belum sempat aku berucap
Belum sempat aku menjaja
Belum sempat aku meniru
Sejuta kiprahmu demi sejagad manusia.

Bunda….
Bisakah aku mengikuti langkah-langkahmu
Langkah-langkah malaikat yang selalu bermakna
Langkah-langkah yang selalu menerangi
Langkah-langkah yang selalu member I gairah
Langkah-langkah yang selalu menggetarkan musuh-musihnya
Langkah-langkah yang selalu memberi aroma
Harum mewangi ,
Bagai melati yang mekar dimusim semi.

Bunda…
Dikala engkau dilahirkan
Engkau mengangis
Ya…engkau menangis histeris dikala engkau mengenal dunia
Tetapi sejuta manusia tersenyum menyambut kehadiranmu
Bahkan ibumu yang melahirkanmu dengan susah payahpun ikut tersenyum pada saat itu
Tetapi bunda…..
Ketika kepergianmu….
Tahukah engkau….
Sejuta manusia tersedu sedan dalam kepedihan
Purnama terjerambab dalam kegelapan
Bintang-bintang enggan berkerlip
Matahari seolah bermalas-malasan menyinari bumi
Tetapi engkau pergi dengan senyum
Senyum kebahagiaan karena surga telah ditunjukkan

Bunda…..
Bisakah aku meneruskan perjuangannmu
Bisakah aku mengikuti langkah-langkahmu
Amanah ini sangat berat bagiku
Aku malu bunda…
Sungguh aku malu
Malu bila di akhirat nanti engkau tanyakah titipanmu
Titipan yang tak sempat aku lanjutkan
Bunda maafkan aku bila kelak aku mengecewakanmu
Semoga Allah meridloiku dalam melanjutkan perjuanganmu

Selamat jalan bunda…
semoga kita bertemu 
saat kaki-kaki kita menginjak firdausnya.




Senin, 02 Mei 2011

PUDARNYA PESONA PANTAI LOVINA


Oleh :
Agus Markoto


Ombak berdebur di pantai Lovina, lamat-lamat mulai berkurang. Perahu-perahu nelayan sore itu mulai berlabuh. Aku mengendarai sepeda motor Yamaha Mioku membelah jalan pantai Lovina. Jalan yang tidak begitu luar itu terasa tampak sepi pengunjung karena hari sudah menjelang sore. Suasana seperti inilah justru menambah mataku semakin bebas menikmati keindahan di sepanjang jalan. Penjual pernak-pernik sumber daya laut memadati area jalan raya menambah keindahan setiap mata memandang. Gemerincing accessories yang berjuntai-juntai diterpa angin laut menambah suasana yang berbeda. Sepi. Berirama.
Sesampai di bibir pantai Lovina, aku segera memarkirkan sepeda motorku ke tempat parker yang telah tersedia. Setelah mendapatkan ticket parkit, akupun masuk dan mencari tempat yang kosong. Akupun tidak terlalu kesulitan mencari tempat untuk parkir, karena tempat parkirnyapun sudah mulai sepi. Kusandarkan sepeda motorku dan kuratuh jaket dan helmku pada tempatnya. Setelah ku kunci, akupun bergegas mendekati pantai. Beberapa orang berlalu-lalang di pinggir pantai menikmati suasana pantai. Sore ini, aku ingin memanjakan pandanganku dengan keindahan pantai. Tetapi, begitu kakiku menginjakkan bibir pantai, anak-anak langsung memberondongku untuk menawarkan dagangannya.
“Mas, beli mas. Murah meriah buat oleh-oleh, Mas!” Tawar anak kecil kepadaku. Seorang anak kecil yang berpakaian sederhana menawarkan barang dagangannya kepadaku. Dia membawa barang-barang kerajinan hasil laut beraneka ragam. Gelang, cincin, kalung, mainan anak, semua terbuat dari sumber daya laut.
Belum sempat aku menanggapi anak itu, anak yang lain menawari dagangan kepadaku dengan nada memelas. Yang berikutnya lagi tidak mau ketinggalan. Mereka saling menyodorkan dagangannya kepadaku tanpa malu-malu.
“Tidak, Dik! Saya tidak beli.” Jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka tidak cukup sampai di situ. Mereka masih tetap menawarkan dagangannya kepadaku. Lagi-lagi aku bilang tidak. Sesekali aku hanya memberi tanda sambil setengah mengangkat tanganku pertanda aku tidak akan membelinya. Aku melanjutkan perjalananku menelusuri pantai. Namun mereka tidak menyerah sampai di situ. Mereka menawariku samapai aku mau membelinya. Hatiku jadi jengkel. Rencanaku untuk menikmati indahnya pantai Lovina di sore hari menjadi tidak nyaman. Deburan ombak pantai yang indah menjadi gemuruh suara peluru gendera tentara perang. Keindahan pantai Lovina memudar.
            Aku pun akhirnya ingin membelinya dengan harapan mereka tidak mengejarku lagi dengan pernak-pernik barang dagangannya. Barang-barang antik dan indah. Menunjukkan kekhasan kerajinan tradisi bali, khususnya Singaraja. Aku membeli perhiasan dari yang terbuat dari kerang laut. Setelah terjadi kesepakatan antara aku dengan anak kecil itu, akhirnya kami transaksi. Setalah aku membelinya, aku kira bisa bebas menikmati pesona pantai Lovina di sore hari ini. Tetapi ternyata tidak demikian. Anak-anak yang lainnya menyerbuku tanpa kenal basa-basi. Mereka menawarkan dagangannya sampai aku mau membelinya. Aku jadi bingun dan semakin jengkel. Yang lebih aneh lagi, anak yang baru saja aku beli perhiasanya tadi, sekarang juga ikut memberondongku untuk membelinya kembali. Aku semakin jengkel, namun aku berusaha untuk sabar. Aku coba bertahan supaya tidak marah. Akhirnya aku meninggalkan mereka dengan mempercepat langkahku.
            Tak lama kemudian, aku duduk di bawah pohon yang rindang di pinggir pantai. Semilir angin darat mulai berhembus. Perahu-perahu kecil berderet-deret di pinggir pantai. Suasana kembali hening, karena sudah tidak ada lagi anak-anak pantai yang menawarkan dagangannya dengan memberondong tanpa ampun. Dengan perasaan yang kesal, aku melangkah menuju perahu kecil di bawah pohon mahoni. Aku duduk di bibir salah satu perahu kecil yang terbentang. Sambil mengayun-ayunkan kaki aku memandang pantai sejauh mataku memandang. Suasana semakin senja, sebentar lagi sunset akan tampak dengan jelas merona. Perlahan-lahan mentari mulai turun ke peraduannya. Aku menunggu matahari tenggelam. Aku ingin menikmatinya dengan mata telanjang.
            Belum sempat matahari tenggelam, aku dikagetkan oleh seorang laki-laki setengah baya dengan sapaanya. Sapaan asli khas orang Bali.
            “Om swastyastu!” Sapa orang setengah baya itu.
Aku hanya menundukkan kepala dengan menyungging senyum ramahku.
            “Ada yang bisa saya bantu!” Dia menawarkan bantuan kepadaku.
            “Tidak, Pak! Terima kasih.” Aku menolaknya dengan halus.
            “Atau barang kali bli mau menyewa perahu ini.” Lagi-lagi dia menawarkan barang dagangannya.
            “Bagaimana! Apa bli mau menyewa perahu ini.” Kata laki-laki setangah baya itu sambil mengelebat-lebatkan tangannya di depan mukaku. Aku tersadar dari lamunan.
            “O, tidak, Pak! Buat apa? Jawabku dengan sedikit gugup.
            “Buat melihat atraksi lumba-lumba besuk pagi.” Kata bapak itu.
            “Memangnya lumba-lumba harus dilihat pakai perahu. Kan bisa dilihat dari darat, Pak!” Sergahku pada orang itu.
            “Kalau ingin lebih menarik, harus dilihat dari dekat.”
            “Apa bedanya, Pak! Dilihat dari dekat sama tidak?”
            “Kalau dilihat lebih dekat akan terasa lebih puas. Karena lumba-lumba tampak nyata dengan loncatan dan senyum keindahannya. Dan ada sesuatu yang beda bila kita bisa melihatnya dari dekat.”
Prasangka burukku mulai muncul kembali. Aku berpikir dalam benakku. “Jangan-jangan bapak ini seperti anak-anak yang berjualan tadi. Memaksa orang untuk membeli dagangannya. Atau jangan-jangan…….”
“Sebaiknya bli jangan kaget atas perlakuan anak-anak itu pada bli. Itu sudah biasa.” Kata orang itu.
Biasa bagaimana maksud bapak?” Tanyaku penasaran.
“Anak-anak di sini memang seperti itu. Kalau jualan memang mereka memaksa. Kalau tidak memaksa tidak ada yang mau beli.” Terang orang itu.
“Kenapa jadi begitu!” Kataku sedikit kesal.
“Para pengunjung lebih suka membeli di souvenir-souvenir di pinggir jalan dari pada membeli anak-anak.”
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kalau di pinggir jalan itu di samping barangnya bagus-bagus, mereka bisa memilih sesuka hatinya.”
“Terus bagaimana dengan nasib anak-anak yang berjulan dengan liar di pinggir pantai. Mengapa tidak dilarang supaya para pengunjung tidak terganggu.”
“Sebaiknya anak-anak jangan dilarang.” Jawab bapak itu dengan datar.
“Kenapa?”
“Kalau dilarang mereka nanti makan apa? Mereka sekolah pakai uang suapa? Mereka itu dari orang miskin di sekitar lingkungan sini. Mereka berjualan di sini hanya sekedar mengais rejeki untuk menyambung hidupnya. Jadi, menurut saya mereka jangan dilarang. Tetapi diberi tempat. Dimana mereka harus berjualan. Hal ini tugas pemerintah.”
“Kenapa harus pemerintah, Pak!
“Karena pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas mereka. Pemerintah yang harus mengatur semua ini. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar telah disebutkan. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Nah, kalau seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab?!” Katanya dengan nada sedikit meninggi.
Dalam benak aku membatin, Saya heran, kenapa kalau ada sesuatu yang tidak beres selalu pemerintah yang harus di salahkan? Apa pemerintah itu tempat pelampiasan sebaga kesalahan warga negaranya. Mengapa mereka tidak duduk bersama dalam mencari solusi? Karena tentu lebih baik hasilnya jika menyikapi masalah bisa dikerjakan atas kesepakatan bersama.
“Kalau menurut saya, Pak! Kita harus cari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam menangani kasus seperti ini. Bagaimana kita mengambil langkah yang tepat. Mencarikan tempat yang lebih baik untuk mereka berjualan mereka misalnya.” Sergahku dengan diplomatis.
Pak tua itu terdiam sejenak atas jawabanku itu. Mungkin dia sedang termenung membenarkan jawabanku. Dia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya pelan melan hingga rongga dadanya menjadi lega. Sejenak kemudian dia berkata dengan diplomatis pula.
“Memang benar kata bli. Tapi coba kita tengok kebelakan. Puluhan tahun yang lalu, pantai Lovina tambak hijau dan rindang. Siapa yang membikin jadi hotel-hotel bermegahan. Tentu para konglomrat atas ijin pemerintah. Kalau bukan pemerintah setempat yang member ijin, hal itu tidak akan terjadi. Pantai Lovina masih tetap hijau dan menebar pesona keindahan. Dan satu hal lagi, masyarakat masih terlalu bodoh untuk diajak berdiskusi. Yang penting buat mereka adalah isi perutnya. Kalau perut mereka kenyang tentu mereka akan diam.”
Dirasa-rasakan, kata bapak setengah baya itu ada benarnya. Memang benar, untuk meberi ijin dalam mendirikan bangunan,  harus ada pemeran pemerintah setempat. Para investor itu juga harus membayar pajak pada pemerintah. Sedangkan orang-orang di sekitar akan terlempar dengan alasan-alasan yang dibuat-buat. Sungguh ironis. Mengorbankan banyak orang untuk segelintir pengusaha. Menjadikan keindahan pesona pantai Lovina memudar. Tinggal loncatan dan senyum lumba-lumba yang membuat pantai Lovina masih punya keindahan. Walau memudar tapi senyuman tetap memancarkan keceriaan pada anak-anak liar yang berjualan di bibir pantai. Mereka masih bisa menatap harapan di balik permainan orang-orang yang duduk di kursi dewan.

Senin, 11 April 2011

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana.


Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal, titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamarannya lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *