Oleh :
Agus Markoto
Ombak berdebur di pantai Lovina, lamat-lamat mulai berkurang. Perahu-perahu nelayan sore itu mulai berlabuh. Aku mengendarai sepeda motor Yamaha Mioku membelah jalan pantai Lovina. Jalan yang tidak begitu luar itu terasa tampak sepi pengunjung karena hari sudah menjelang sore. Suasana seperti inilah justru menambah mataku semakin bebas menikmati keindahan di sepanjang jalan. Penjual pernak-pernik sumber daya laut memadati area jalan raya menambah keindahan setiap mata memandang. Gemerincing accessories yang berjuntai-juntai diterpa angin laut menambah suasana yang berbeda. Sepi. Berirama.
Sesampai di bibir pantai Lovina, aku segera memarkirkan sepeda motorku ke tempat parker yang telah tersedia. Setelah mendapatkan ticket parkit, akupun masuk dan mencari tempat yang kosong. Akupun tidak terlalu kesulitan mencari tempat untuk parkir, karena tempat parkirnyapun sudah mulai sepi. Kusandarkan sepeda motorku dan kuratuh jaket dan helmku pada tempatnya. Setelah ku kunci, akupun bergegas mendekati pantai. Beberapa orang berlalu-lalang di pinggir pantai menikmati suasana pantai. Sore ini, aku ingin memanjakan pandanganku dengan keindahan pantai. Tetapi, begitu kakiku menginjakkan bibir pantai, anak-anak langsung memberondongku untuk menawarkan dagangannya.
“Mas, beli mas. Murah meriah buat oleh-oleh, Mas!” Tawar anak kecil kepadaku. Seorang anak kecil yang berpakaian sederhana menawarkan barang dagangannya kepadaku. Dia membawa barang-barang kerajinan hasil laut beraneka ragam. Gelang, cincin, kalung, mainan anak, semua terbuat dari sumber daya laut.
Belum sempat aku menanggapi anak itu, anak yang lain menawari dagangan kepadaku dengan nada memelas. Yang berikutnya lagi tidak mau ketinggalan. Mereka saling menyodorkan dagangannya kepadaku tanpa malu-malu.
“Tidak, Dik! Saya tidak beli.” Jawabku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Mereka tidak cukup sampai di situ. Mereka masih tetap menawarkan dagangannya kepadaku. Lagi-lagi aku bilang tidak. Sesekali aku hanya memberi tanda sambil setengah mengangkat tanganku pertanda aku tidak akan membelinya. Aku melanjutkan perjalananku menelusuri pantai. Namun mereka tidak menyerah sampai di situ. Mereka menawariku samapai aku mau membelinya. Hatiku jadi jengkel. Rencanaku untuk menikmati indahnya pantai Lovina di sore hari menjadi tidak nyaman. Deburan ombak pantai yang indah menjadi gemuruh suara peluru gendera tentara perang. Keindahan pantai Lovina memudar.
Aku pun akhirnya ingin membelinya dengan harapan mereka tidak mengejarku lagi dengan pernak-pernik barang dagangannya. Barang-barang antik dan indah. Menunjukkan kekhasan kerajinan tradisi bali, khususnya Singaraja. Aku membeli perhiasan dari yang terbuat dari kerang laut. Setelah terjadi kesepakatan antara aku dengan anak kecil itu, akhirnya kami transaksi. Setalah aku membelinya, aku kira bisa bebas menikmati pesona pantai Lovina di sore hari ini. Tetapi ternyata tidak demikian. Anak-anak yang lainnya menyerbuku tanpa kenal basa-basi. Mereka menawarkan dagangannya sampai aku mau membelinya. Aku jadi bingun dan semakin jengkel. Yang lebih aneh lagi, anak yang baru saja aku beli perhiasanya tadi, sekarang juga ikut memberondongku untuk membelinya kembali. Aku semakin jengkel, namun aku berusaha untuk sabar. Aku coba bertahan supaya tidak marah. Akhirnya aku meninggalkan mereka dengan mempercepat langkahku.
Tak lama kemudian, aku duduk di bawah pohon yang rindang di pinggir pantai. Semilir angin darat mulai berhembus. Perahu-perahu kecil berderet-deret di pinggir pantai. Suasana kembali hening, karena sudah tidak ada lagi anak-anak pantai yang menawarkan dagangannya dengan memberondong tanpa ampun. Dengan perasaan yang kesal, aku melangkah menuju perahu kecil di bawah pohon mahoni. Aku duduk di bibir salah satu perahu kecil yang terbentang. Sambil mengayun-ayunkan kaki aku memandang pantai sejauh mataku memandang. Suasana semakin senja, sebentar lagi sunset akan tampak dengan jelas merona. Perlahan-lahan mentari mulai turun ke peraduannya. Aku menunggu matahari tenggelam. Aku ingin menikmatinya dengan mata telanjang.
Belum sempat matahari tenggelam, aku dikagetkan oleh seorang laki-laki setengah baya dengan sapaanya. Sapaan asli khas orang Bali.
“Om swastyastu!” Sapa orang setengah baya itu.
Aku hanya menundukkan kepala dengan menyungging senyum ramahku.
“Ada yang bisa saya bantu!” Dia menawarkan bantuan kepadaku.
“Tidak, Pak! Terima kasih.” Aku menolaknya dengan halus.
“Atau barang kali bli mau menyewa perahu ini.” Lagi-lagi dia menawarkan barang dagangannya.
“Bagaimana! Apa bli mau menyewa perahu ini.” Kata laki-laki setangah baya itu sambil mengelebat-lebatkan tangannya di depan mukaku. Aku tersadar dari lamunan.
“O, tidak, Pak! Buat apa? Jawabku dengan sedikit gugup.
“Buat melihat atraksi lumba-lumba besuk pagi.” Kata bapak itu.
“Memangnya lumba-lumba harus dilihat pakai perahu. Kan bisa dilihat dari darat, Pak!” Sergahku pada orang itu.
“Kalau ingin lebih menarik, harus dilihat dari dekat.”
“Apa bedanya, Pak! Dilihat dari dekat sama tidak?”
“Kalau dilihat lebih dekat akan terasa lebih puas. Karena lumba-lumba tampak nyata dengan loncatan dan senyum keindahannya. Dan ada sesuatu yang beda bila kita bisa melihatnya dari dekat.”
Prasangka burukku mulai muncul kembali. Aku berpikir dalam benakku. “Jangan-jangan bapak ini seperti anak-anak yang berjualan tadi. Memaksa orang untuk membeli dagangannya. Atau jangan-jangan…….”
“Sebaiknya bli jangan kaget atas perlakuan anak-anak itu pada bli. Itu sudah biasa.” Kata orang itu.
Biasa bagaimana maksud bapak?” Tanyaku penasaran.
“Anak-anak di sini memang seperti itu. Kalau jualan memang mereka memaksa. Kalau tidak memaksa tidak ada yang mau beli.” Terang orang itu.
“Kenapa jadi begitu!” Kataku sedikit kesal.
“Para pengunjung lebih suka membeli di souvenir-souvenir di pinggir jalan dari pada membeli anak-anak.”
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kalau di pinggir jalan itu di samping barangnya bagus-bagus, mereka bisa memilih sesuka hatinya.”
“Terus bagaimana dengan nasib anak-anak yang berjulan dengan liar di pinggir pantai. Mengapa tidak dilarang supaya para pengunjung tidak terganggu.”
“Sebaiknya anak-anak jangan dilarang.” Jawab bapak itu dengan datar.
“Kenapa?”
“Kalau dilarang mereka nanti makan apa? Mereka sekolah pakai uang suapa? Mereka itu dari orang miskin di sekitar lingkungan sini. Mereka berjualan di sini hanya sekedar mengais rejeki untuk menyambung hidupnya. Jadi, menurut saya mereka jangan dilarang. Tetapi diberi tempat. Dimana mereka harus berjualan. Hal ini tugas pemerintah.”
“Kenapa harus pemerintah, Pak!
“Karena pemerintahlah yang harus bertanggung jawab atas mereka. Pemerintah yang harus mengatur semua ini. Bukankah dalam Undang-Undang Dasar telah disebutkan. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Nah, kalau seperti ini siapa yang harus bertanggung jawab?!” Katanya dengan nada sedikit meninggi.
Dalam benak aku membatin, Saya heran, kenapa kalau ada sesuatu yang tidak beres selalu pemerintah yang harus di salahkan? Apa pemerintah itu tempat pelampiasan sebaga kesalahan warga negaranya. Mengapa mereka tidak duduk bersama dalam mencari solusi? Karena tentu lebih baik hasilnya jika menyikapi masalah bisa dikerjakan atas kesepakatan bersama.
“Kalau menurut saya, Pak! Kita harus cari solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Dalam menangani kasus seperti ini. Bagaimana kita mengambil langkah yang tepat. Mencarikan tempat yang lebih baik untuk mereka berjualan mereka misalnya.” Sergahku dengan diplomatis.
Pak tua itu terdiam sejenak atas jawabanku itu. Mungkin dia sedang termenung membenarkan jawabanku. Dia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya pelan melan hingga rongga dadanya menjadi lega. Sejenak kemudian dia berkata dengan diplomatis pula.
“Memang benar kata bli. Tapi coba kita tengok kebelakan. Puluhan tahun yang lalu, pantai Lovina tambak hijau dan rindang. Siapa yang membikin jadi hotel-hotel bermegahan. Tentu para konglomrat atas ijin pemerintah. Kalau bukan pemerintah setempat yang member ijin, hal itu tidak akan terjadi. Pantai Lovina masih tetap hijau dan menebar pesona keindahan. Dan satu hal lagi, masyarakat masih terlalu bodoh untuk diajak berdiskusi. Yang penting buat mereka adalah isi perutnya. Kalau perut mereka kenyang tentu mereka akan diam.”
Dirasa-rasakan, kata bapak setengah baya itu ada benarnya. Memang benar, untuk meberi ijin dalam mendirikan bangunan, harus ada pemeran pemerintah setempat. Para investor itu juga harus membayar pajak pada pemerintah. Sedangkan orang-orang di sekitar akan terlempar dengan alasan-alasan yang dibuat-buat. Sungguh ironis. Mengorbankan banyak orang untuk segelintir pengusaha. Menjadikan keindahan pesona pantai Lovina memudar. Tinggal loncatan dan senyum lumba-lumba yang membuat pantai Lovina masih punya keindahan. Walau memudar tapi senyuman tetap memancarkan keceriaan pada anak-anak liar yang berjualan di bibir pantai. Mereka masih bisa menatap harapan di balik permainan orang-orang yang duduk di kursi dewan.